Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah angkatan 2022 dari Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar pentas sastra Jawa di gedung pementasan atau Performance Hall UNY. Pentas ini diadakan sebagai bagian dari Ujian Akhir Semester mata kuliah Sanggar Sastra pada semester 4. Pementasan tersebut melibatkan 3 kelompok dari 3 kelas berbeda, masing-masing dibimbing oleh dosen yang berbeda diantaranya, Prof. Dr. Drs. Suwardi, M.Hum., Dr. Drs. Afendy Widayat, M.Phil., dan Dr. Drs. Sukisno, M.Sn.
Kelas A membawakan cerita dengan judul “Pupus”. Cerita yang dibawakan terinspirasi dari cerita Mahabarata tentang percintaan Dewi Amba dengan Raja Salwa yang tidak bisa berlanjut dikarenakan sayembara yang dimenangkan oleh Raden Dewabrata. “Dalam lakon Pupus ini saya alih latar dari Mahabarata menuju Mataram Islam dengan merubah seluruh nama tokoh & semua latar tempat, dan semua murni pengembangan cerita” Kata Maheswatama Dewa, Sutradara & Penulis Naskah Pupus.
Selanjutnya mahasiswa kelas B mempersembahkan pertunjukan berjudul “Kepang Mawa Tangis”. Pertunjukan ini menceritakan seorang anak bernama damar yang tidak direstui bapaknya untuk menjadi penerus kakeknya untuk menjadi seniman jathilan, dikucilkan masyarakat karena kelakuan bapaknya yang suka mabuk, judi, dan bermain wanita yang tidak memikirkan keadaan ibunya damar yang sedang sakit sakitan, membuat damar bekerja untuk berobat ibunya, namun bapaknya seringkali menyiksa damar dan tidak mendukung damar menjadi seniman jathilan, yang akhirnya damar ketakutan dan menggantungkan lehernya di tali hingga meninggal. “Karangan ini terinspirasi dari kisah nyata keadaan kebudayaan dan kesenian jathilan yang kian mengkhawatirkan. Keresahan seniman jathilan yang diangkat menjadi sebuah naskah dan dipentaskan dalam pentas sanggar sastra paguyuban basunanda diwangkara yang dibuat oleh Mas Nur Rosyid Hidayat” Jelas Tut Wuri Handayani, Penanggung jawab Pengrawit dalam pentas Kepang Mawa Tangis.
Kelas C mementaskan pertunjukan berjudul “Luh Hardaning Asmara” Cerita ini mengisahkan seorang bupati yang berada di balik pembunuhan seorang dalang saat mengadakan pagelaran wayang di daerahnya. Bupati membunuh sang dalang karena tertarik pada istri dalang, seorang sinden dengan suara merdu. Setelah kematian dalang, bupati menikahi janda tersebut dengan alasan ingin meningkatkan status sosialnya dan anak-anaknya, seolah-olah sebagai bentuk tanggung jawabnya. Namun, dalam pernikahan mereka, bupati tergoda oleh kecantikan anak sulung sang janda dan berniat menceraikan istrinya untuk menikahi anak sambungnya. “Dari judulnya ini Luh Hardhaning Asmara yang secara etimologi jawa, Luh itu kesedihan/air mata, Hardaning artinya nafsu dan Asmara artinya cinta, Jadi Luh Hardhaning Asmara artinya Air mata Nafsu Cinta” Tutur Muhammad Saiful Asyifa Akbar, Sutradara dan Penulis Naskah dalam pentas Luh Hardhaning Asmara.
Semua Pertunjukan yang dibawakan setiap kelompok dalam Pentas Sanggar Sastra ini menggunakan dialog bahasa jawa termasuk bahasa jawa krama, ngoko hingga kromo alus dan diiringi musik jawa sebagai salah satu upaya melestarikan bahasa dan kesenian daerah. Dapat dikatakan sukses, pementasan yang disiapkan dalam waktu 3 bulan ini telah dihadiri oleh ± 700 pengunjung yang terdiri dari orang tua, keluarga mahasiswa, sponsor, dan teman teman yang sekaligus menjadi peserta pementasan.