Pembelajaran sastra saat ini dihadapkan pada tantangan baru yang lebih rumit dan sulit di tengah kondisi budaya masyarakat atas keberaksaraan, khususya di kalangan anak muda, serta arus deras Pendidikan 4.0 dan Masyarakat 5.0, disrupsi teknologi, tuntutan kecakapan abad ke 21, tuntutan kemampuan berpikir tingkat tinggi, masa pandemi Covid 19, pluralitas media karya sastra, serta keragaman teori sastra yang sangat terbuka. Beragam persepsi atas pembelajaran sastra yang masih dipandang monoton, disorientasi, membosankan, dan terlepas konteks menjadi salah satu faktor belum berkontribusinya pembeljaran sastra secara signifikan. Dalam konteks literasi membaca, pembelajaran sastra belum mampu mendongkrak budaya baca anak muda Indonesia. Pertanyaannya adalah bagaimana merealisasikan peran pembelajaran sastra dalam paradigma baru tersebut? Dalam konteks era mutakhir, karya sastra dan pembelajarannya memiliki perspektif multidimensi, bukan hanya sebagai alat “pencangkokan” nilai tertentu atas diri peserta didik. Tafsir sastra dalam perspektif pembelajaran hanya semacam “pencangkokan” nilai hanya mereduksi betapa luasnya sastra menjadi teramat sempit dan sangat membosankan. Proses pencakokan ini menjadi mantra utama para pihak untuk memperlihatkan dan mengarahkan bahwa tujuan penciptaan sastra hanya sebagai alat agar peserta didik memiliki sikap santun dan berbudaya, sastra sebagai alat untuk membuat peserta didik menjadi pribadi yang utuh, alat transfer nilai (Purwati, 2016: 233-240, Syarifudin dan Nursalim, 2019:1-6), untuk menumbuhkan kemampuan apresiasi budaya, menciptakan kepekaan sosial, dan menghaluskan budi peserta didik, pengenalan nilai-nilai sosial budaya dan pembentukan karakter peserta didik yang memiliki watak yang berbudi luhur dalam menghadapi persaingan abad ke-21 (Suryaman, 2010:126), namun belum memperlihatkan wawasan bahwa pembelajaran sastra yang utama adalah memfasilitasi siswa agar memiliki budaya literasi dan multiliterasi tinggi. Menurut Nugraha (2021: 42) pembelajaran sastra harus dilihat sebagai alat yang mampu memberikan skenario, model, dan arketipe bagi peserta didik di dalam melihat dan membentuk diri mereka dalam rangka menempatkan diri secara baik ke dalam masyarakat demi kesuksesan kehidupan sosial peserta didik. Pemahaman ini penting dalam rangka mengubah status objek pasif siswa dari sebagai objek menjadi sebagai subjek aktif di dalam pembelajaran sastra.
Pemahaman pembelajaran sastra yang hanya fokus pada segi pragmatik dengan penekanan pada transfer nilai tentulah hanya akan mengerdilkan manfaat sastra bagi siswa. Pemahaman ini juga hanya akan menguatkan kemampuan berpikir tingkat rendah siswa (LOTS). Diperlukan orientasi dan perspektif baru agar manfaat pembelajaran sastra bagi pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) dapat diraih secara optimal. Penempatan internet dan teknologi digital di dalam pembelajaran sastra dapat memerankan posisi guru sebagai fasilitator pembelajaran sastra. Sebagai fasilitator, guru memandu dan memonitor proses diskusi yang dilakukan siswa. Penggunaan internet dan teknologi informasi digital di dalam pengembangan HOTS dan kecakapan abad ke-21 melalui beragam aplikasi teknologi informasi digital dapat memperluas tidak hanya dalam rangka diskusi yang sifatnya terbuka, tetapi juga mem[1]berikan fleksibilitas waktu dan ruang reflektif yang bermakna. Beberapa platform digital – sebagai contoh -- yang dapat diadaptasi guru untuk memfasilitasi belajar siswa adalah Canva, Book Creator, dan Microsoft Power Point. Pertama, Canva dapat dimanfaatkan guru dalam pembelajaran sastra untuk membuat produk-produk kreatif (seperti poster digital) yang diadaptasi dari cerpen, misalnya. Kedua, Book Creator dapat dikembangkan guru di dalam pembelajaran kolaborarif untuk membuat kumpulan puisi, misalnya. Ketiga, Microsoft Power Point dapat dimanfaatkan guru di dalam pembelajaran untuk membuat video bernarasi, seperti mentransformasi karya sastra ke dalam tulisan ilmiah, perekaman deklamasi puisi, atau perekaman pementasan drama monolog, yang semuanya dapat diterapkan di dalam pengembangan HOTS dan kecakapan abad ke-21 (Nugraha, 2021, pp 45-46). Pemaanfaatan berbagai platform digital untuk pembelajaran sastra menjadi sumbangsih penguasaan teknologi informasi dan komunikasi guru di dalam mewujudkan pembelajaran sastra yang tertaut dengan literasi digital serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.
Penggunaan platform ini bukan semata-mata akses siswa atas teknologi tetapi dalam rangka membiasakan siswa memiliki kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dengan kehidupan secara sosial, emosional, dan eksistensial dengan dunia virtual (Miranda, 2018:825-827). Di masa pandemi Covid-19 pembelajaran sastra konvensional didisrupsi oleh kehadiran internet dan teknologi informasi digital sehingga pemanfaatannya menjadi suatu keharusan (Rodrigues, Franco, Silva, 2020). Pandemi Covid-19 hadir sebagai chaos (kekacauan) yang semakin menguatkan ungkapan “yang pasti saat ini adalah ketidakpastian, ketidakteraturan” sehingga memaksa siapapun untuk menggunakan tesis Thomas Khun (Kuhn, 1970) mengenai perubahan paradigma dalam bentuk kemampuan berdaptasi. Dampaknya yang tak terelakkan adalah “memaksa” sistem pendidikan menggunakan pembelajaran daring, tak terkecuali pembelajaran sastra. Sampai kapan hal demikian terjadi? Jawaban pertanyaan ini tidak lagi dapat menggunakan cara-cara kebiasaan lama, melainkan harus dijawab melalui cara-cara kebiasaan baru. Pembelajaran di era kebiasaan lama kemungkinan besar akan kita tinggalkan dan harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Proses disrupsi melalui internet dan teknologi informasi digital yang berkembang masif sebelum pandemi dan bersamaan dengan akselerasi perkembangan internet dan teknologi informasi digital selama pandemi melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengintegrasian teknologi ke dalam pembelajaran sastra yang tentu akan diterapkan sesudah pandemi berakhir. Dengan demikian, kembali ke kebiasaan sesudah pandemi tidak akan sama dengan kebiasaan sebelum pandemi.
Jika ditautkan dengan internet dan teknologi informasi digital, pembelajaran sastra dikembangkan dalam kerangka penguatan literasi dan multiliterasi melalui kemampuan komunikasi, kolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, inovatif, maka konten pembelajaran sastra perlu dikontekstualisasi ke dalam kehidupan nyata siswa. Berikut ini ilustrasi singkat bagaimana mempraktikkan pembelajaran puisi dalam ranah kontekstualisasinya. Pada dasarnya dunia batin manusia mengandung dua unsur, yakni unsur yang bersifat positif dan unsur yang bersifat negatif (Effendi, 2004:244-245). Kegembiraan, kasih sayang, kejujuran, ketabahan, keberanian, pengorbanan, kepekaan, kekritisan, ketakwaan, dan hal-hal lain merupakan sumber batin positif manusia. Di sisi lain, ada kebencian, kebohongan, kemunafikan, kesombongan, keserakahan, kekecewaan, keputusasaan, kemungkaran, dan hal-hal lain merupakan sumber batin negatif manusia. Kedua sumber tersebut dimiliki oleh penyair sehingga di dalam ekspresinya, penyair berangkat dari penyelaman atas kedua sumber tersebut. Penyelaman ini merupakan proses kreatif penyair setelah mengendapkannya melalui jarak yang cukup lama. Karena jarak yang lama ini pula puisi bukan hanya bercerita tentang suatu kasus, melainkan peristiwa yang dialami oleh batin manusia pada umumnya. Sudah barang tentu pengalaman penyair itu individual sifatnya. Akan tetapi, penyair mengolahnya menjadi pengalaman yang bersifat umum. Menurut Teeuw (1991:56) puisi modern sangat berbeda dengan puisi tradisional. Perbedaan yang menonjol antara lain manusia individual sebagai pusat perhatian, tanpa nilai teladan atau keagungan; ketidakadaan unsur pendidikan atau manfaat atau etik yang langsung dapat diturunkan dari dunia sajak modern (secara tak langsung puisi modern pun mengandung amanat yang dapat memberi manfaat atau pendidikan atau cita-cita kepada pembacanya); kuatnya unsur ironi dalam puisi modern, yang menisbikan, mempermasalahkan, memperasingkan keyakinan dan kepastian tradisional. Ciri-ciri puisi modern seperti disebutkan di atas dengan sendirinya akan menentukan kita untuk memiliki keahlian tertentu, yakni keahlian terhadap konvensi-konvensi, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Tanpa pengetahuan konvensi yang menjadi dasar puisi modern itu, pemahaman sajak-sajak individual tidak mungkin dapat dilakukan. Implikasinya, otonomi sajak menurut Teeuw (1991:56) yang seringkali dikemukakan sebagai ciri khas karya sastra hanya bersifat nisbi pula. Pemahaman karya sastra individual tidak mungkin tanpa pengetahuan yang lebih luas mengenai keseluruhan karya sastra yang di situ sajak individual termasuk di dalamnya. Teeuw lebih lanjut mencontohkan puisi yang berjudul ”Salju” karya Subagio Sastrowardoyo. Menurut Teeuw, pemahaman puisi itu menjadi lebih jelas manakala mengetahui keseluruhan karya sastra dalam rangka keseluruhan karya puisi Subagio, yakni yang sering menggarap tema kejelekan manusia sebagai ciptaan gagal, yang sering pula mempermasalahkan kegiatannya sebagai penyair, dan yang selalu menyukai pemutarbalikan perspektif keyakinan atau kepastian manusia yang tradisional. Demikian pula puisi-puisi Toeti Heraty melalui puisi yang berjudul ”Cocktail Party” secara umum menggambarkan ciri ironi yang sangat kuat, dan seringkali memanfaatkan tema yang sama dengan Subagio. Keduanya dapat dipahami lebih baik lagi kalau ditempatkan dalam rangka yang lebih luas: pertama-tama keseluruhan puisi Indonesia modern, kemudian pula puisi Barat abad ke 20. Karakteristik konvensi pun di dalam perkembangan modern sangat terbuka. Hal ini berbeda dengan puisi tradisional yang bersifat tertutup. Artinya, konvensi modern tidak untuk dihapalkan dan tinggal diterapkan. Konvensi ini harus dipahami dalam konteks fleksibilitas dan kelonggaran, yakni terdapat berbagai kemungkinan yang sangat luas untuk melakukan penyimpangan dan pemberontakan kepada penyair (Teeuw, 1991:57). Artinya, posisi pembaca menjadi sangat penting di dalam rangka pemahaman puisi modern. Proses kreatif pembaca menjadi dasar yang terbuka untuk melakukan pemaknaan atau interpretasi. Teeuw (1991:57) menekankan bahwa membaca puisi bukan berarti berfilsafat mengenai beberapa kata yang kebetulan terdapat di dalam sebuah sajak; tetapi membaca puisi tidak berarti pula mengenakan aturan-aturan yang ketat terhadap sebuah karya sastra. Makna objektif dan definitif tidak ada bagi sebuah puisi yang sungguh-sungguh bernilai. Yang ada jus[1]tru makna keragaman tafsir. Konvensi inilah yang menjadi konvensi utama puisi modern sebagai kriteria karya sastra yang memiliki keunggulan.
Berdasarkan analisis tersebut dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, menghadapi kehidupan global dipersyaratkan budaya mutu anak muda Indonesia sebagai darma bakti bagi nusantara yang literat melalui kemampuan beradaptasi dengan kehidupan baru melalui pembelajaran sastra. Kedua, pembelajaran sastra harus memerankan dirinya secara optimal dalam menumbuhkan dan mengembangkan budaya mutu anak muda Indonesia bagi terciptanya nusantara yang literat melalui penguasaan kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, serta berinovasi. Ketiga, pembelajaran sastra berbasis pemanfaatan internet dan teknologi informasi dan digital menjadi keniscayaan yang tidak dapat diabaikan sebagai dampak perkembangan baru, pandemi Covid-19, serta disrupsi atas kemapanan teori lama tentang belajar. Keempat, pembelajaran sastra perlu disandarkan pada kontekstualisasi dengan kehidupan nyata dalam berbagai peran serta kebermanfaatan, baik manfaat langsung maupun manfaat ikutan. Kelima, para ahli, praktisi, sastrawan, pegiat literasi, dan masyarakat harus bahu-membahu menjadikan pembelajaran sastra sebagai penghela tumbuhnya budaya membaca. Keenam, pembelajaran sastra harus ditransformasi menjadi proses pemberdayaan bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan melalui pemanfaatan internet dan teknologi informasi digital.