Pembelajaran Sastra Pada Era Modern

Prof. Maman Suryaman saat pengukuhan guru besar

Minat baca anak muda Indonesia dalam fenomena global hingga kini masih memerlukan perhatian khusus. Masalah minat baca merupakan masalah klasik yakni akses, harga, dan mutu buku. Berdasarkan Indeks Aktivitas Literasi Membaca penyebab rendahnya minat dan kebiasaan membaca itu adalah kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Padahal membaca menjadi perilaku, kebiasaan, dan budaya sudah termaktub di dalam Al Quran. Secara  jelas  dinyatakan bahwa membaca harus menjadi perilaku, kebiasaan, dan budaya dalam rangka mencerdaskan umat dan membina kepribadian, dalam rangka menguasai ilmu pengetahuan, dan dalam rangka menjadikan manusia bermanfaat bagi manusia lain, alam semesta, dan segala yang ada di langit dan di bumi semata-mata agar manusia menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Hal ini menjadi perhatian guru besar Bidang Pembelajaran Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Maman Suryaman, M.Pd. Menurutnya kebiasaan literasi membaca khususnya pembelajaran sastra saat ini dihadapkan pada tantangan baru yang lebih rumit dan sulit di tengah kondisi budaya masyarakat atas keberaksaraan, khususnya di kalangan anak muda. “Arus deras Pendidikan 4.0 dan Masyarakat 5.0, disrupsi teknologi, tuntutan kecakapan abad ke-21, tuntutan kemampuan berpikir tingkat tinggi, masa pandemi Covid-19, pluralitas media karya sastra, serta keragaman teori sastra masih sangat terbuka” kata Maman. Beragam persepsi atas pembelajaran sastra yang masih dipandang monoton, disorientasi, membosankan, dan terlepas konteks menjadi salah satu faktor belum berkontribusinya pembelajaran sastra secara signifikan. Dalam konteks literasi membaca, pembelajaran sastra belum mampu mendongkrak budaya baca anak muda Indonesia.

Pria kelahiran Ciamis, 4 Februari 1967 tersebut memaparkan sastra dapat sebagai alat agar peserta didik memiliki sikap santun dan berbudaya, sekaligus menjadi pribadi yang utuh, alat transfer nilai untuk menumbuhkan kemampuan apresiasi budaya, menciptakan kepekaan sosial, dan menghaluskan budi peserta didik, pengenalan nilai-nilai sosial budaya dan pembentukan karakter peserta didik yang memiliki watak yang berbudi luhur dalam menghadapi persaingan abad ke-21. Pembelajaran sastra harus dilihat sebagai alat yang mampu memberikan skenario, model, dan arketipe bagi peserta didik di dalam melihat dan membentuk diri mereka dalam rangka menempatkan diri secara baik ke dalam masyarakat demi kesuksesan kehidupan sosial peserta didik. Pemahaman ini penting dalam rangka mengubah status objek pasif siswa dari sebagai objek menjadi sebagai subjek aktif di dalam pembelajaran sastra. Menurutnya pemahaman pembelajaran sastra  yang  hanya  fokus  pada segi pragmatik dengan penekanan pada transfer nilai hanya akan mengerdilkan manfaat sastra bagi siswa. Pemahaman ini juga hanya akan menguatkan kemampuan berpikir tingkat rendah siswa (LOTS). Diperlukan orientasi dan perspektif baru agar manfaat pembelajaran sastra bagi pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) dapat diraih secara optimal.

Dikatakan warga Purwomartani Kalasan Sleman tersebut bahwa pemaanfaatan berbagai platform digital untuk pembelajaran sastra menjadi sumbangsih penguasaan teknologi informasi dan komunikasi guru di dalam mewujudkan pembelajaran sastra yang tertaut dengan literasi digital serta literasi teknologi informasi dan komunikasi. Di masa pandemi Covid-19 pembelajaran sastra konvensional di- disrupsi oleh kehadiran internet dan teknologi informasi digital sehingga pemanfaatannya menjadi suatu keharusan. Dampaknya yang tak terelakkan adalah memaksa” sistem pendidikan menggunakan pembelajaran daring, tak terkecuali pembelajaran sastra. Pembelajaran di era kebiasaan lama kemungkinan besar akan kita tinggalkan dan harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Proses disrupsi melalui internet dan teknologi informasi digital yang berkembang masif sebelum pandemi dan bersamaan dengan akselerasi perkembangan internet dan  teknologi informasi digital  selama pandemi melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru di dalam pengintegrasian teknologi ke dalam pembelajaran sastra yang tentu akan diterapkan sesudah pandemi berakhir. Dengan demikian, kembali ke kebiasaan sesudah pandemi tidak akan sama dengan kebiasaan sebelum pandemi.

Doktor bidang ilmu Pembelajaran Bahasa Indonesia UPI Bandung tersebut menyimpulkan pembelajaran sastra harus memerankan dirinya secara optimal dalam menumbuhkembangkan budaya mutu anak muda Indonesia bagi terciptanya nusantara yang literat melalui penguasaan kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, serta berinovasi. “Para ahli, praktisi, sastrawan, pegiat literasi, dan masyarakat harus bahu-membahu menjadikan pembelajaran sastra sebagai penghela tumbuhnya budaya membaca. Pembelajaran sastra harus ditransformasi menjadi proses pemberdayaan bagi tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan melalui pemanfaatan internet dan teknologi informasi digital” tutup Maman Suryaman. (Dedy)