Ecoprint merupakan teknik pewarnaan dengan menggunakan bahan pewarna alam. Teknik pewarnaan pada ecoprint dilakukan dengan cara mentransfer warna dan bentuk pada media melalui kontak langsung. Pada umumnya, teknik ecoprint diterapkan pada permukaan kain dan menghasilkan motif dengan berbagai macam bentuk dan warna. Produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang tinggi hanya dengan memanfaatkan bahan alam yang ada di lingkungan sekitar. Namun ternyata ecoprint tidak hanya dapat dilakukan pada kain namum juga berbagai macam media, diantaranya kulit. Inilah yang menjadi fokus penelitian mahasiswa prodi pendidikan kriya Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Novi Saraswati. Menurutnya jika dilihat dari sisi bahannya, dikenal ada dua kelompok besar kulit. “Pertama, kulit yang telah mengalami proses pengolahan penyamakan kulit yang kemudian disebut leather atau kulit-jadi (kulit tersamak) dan kedua, kulit yang belum mengalami pengolahan dengan bahan kimiawi” kata Novi. Jenis kulit pertama ini digunakan sebagai bahan baku industri persepatuan dan non persepatuan, yang pada umumnya merupakan barang-barang terpakai (fungsional). Sehingga masih alami dan merupakan bahan mentah. Sedangkan jenis kulit yang kedua ini digunakan dalam seni tatah sungging sebagai bahan utama. Kulit yang masih alami ini dalam dunia perkulitan dikenal dengan sebutan kulit perkamen atau kulit mentah.
Gadis kelahiran Sleman 11 Maret 1996 itu melakukan penelitiannya di home industry Batik Kampung Ngadiwinatan Ngampilan Yogyakarta. Bengkel Batik Kampung merupakan salah satu usaha yang bergerak di bidang kerajinan atau kriya tekstil dan kulit. Pada mulanya, bengkel Batik Kampung hanya menerapkan teknik pewarnaan ecoprint pada kain saja. Hingga pada akhir tahun 2018 mulai berkembang dengan menggunakan kulit sebagai media dalam menerapkan teknik tersebut .
Alumni SMKN 1 Kalasan tersebut mengungkapkan bahan baku yang digunakan untuk pewarnaan (ecoprint) di Bengkel Batik Kampung adalah kulit domba , tawas, tunjung, kain katun, cuka, soda abu, plastik wrap, air, tali (rafia), bunga (kenikir, kamboja) dan daun (pucuk daun jati, daun lanang, daun jarak wulung, daun kalpataru, daun papaya jepang). Bahan baku tersebut didapatkan dari toko-toko yang ada di sekitar daerah Yogyakarta. Sementara air, bunga dan daun diperoleh dari lingkungan sekitar. Proses ecoprint di Batik Kampung diawali dengan mordanting yaitu untuk meningkatkan daya serap kulit terhadap zat pewarna alami. Selain itu juga untuk membersihkan dan membuka pori-pori kulit sehingga warna yang dihasilkan akan maksimal. Lalu dilanjutkan dengan treatment kulit dan daun. Treatment daun bertujuan untuk membersihkan segala kotoran yang menempel pada daun. Selain itu, trietment daun dilakukan supaya warna yang muncul lebih pekat dan maksimal. Ada bebera jenis daun yang tidak perlu ditreatment seperti daun lanang dan daun jati. Selain itu semua jenis bunga juga tidak perlu melalui proses ini. Proses ecoprint dilanjutkan dengan teknik menutup kulit dengan kain katun yang telah diberi pewarna alami (iron blanket), pengukusan dan finishing.
Warga Nglengkong Sambirejo Prambanan tersebut mengatakan bahwa hasil karya ecoprint di media kulit ini dapat dibuat menjadi berbagai macam kerajinan seperti sepatu, tas, bahkan busana seperti rompi kulit, dress, kemeja atau celana. Harapannya dengan produksi yang sudah berjalan selama ini bengkel Batik Kampung selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produk supaya mampu bersaing dikancah internasional. Selain itu dalam mendesain suatu produk sebaiknya memperhatikan nilai ergonominya baik dari segi fungsi, estetika, pengguna, dan sebagainya. Hal ini merupakan salah satu upaya UNY dalam agenda pembangunan berkelanjutan pada bidang pendidikan bermutu dan kemitraan. (Dedy)