Dalam kisah nusantara, tercatat beberpa nama perempuan yang menunjukkan eksistensi dan keberaniannya dalam menghadapi masyarakat yang palogosentris. Kunti, Sawitri, dan Pembayun adalah beberapa contoh perempuan yang mampu menaklukkkan kuasa patriarki. Sawitri, misalnya, berani menggugat kuasa para dewa. Kunti menguasai ilmu memanggil dewa. Berkat peran Pembayun, misalnya, Ki Ageng Mangir berhasil ditundukkan. Akar feminisme sudah menancap dalam sekian lama di bumi nusantara. Demikian penjelasan dari Prof. Dr. Suminto A Sayuti dalam paparannya.
Diskusi mengenai akar feminisme nusantara dalam sastra Indonesia menjadi bahasan yang menarik dalam Seminar Nasional Sastra (Rabu, 22/09) kali ini. Acara yang diselenggarakan oleh Tim Peneliti DP2M (Prof. Wiyatmi, M.Hum. dkk) bekerja sama dengan Program Studi Sastra Indonesia FBS UNY dan HISKI UNY ini menampilkan tiga pembicara yang kompeten di bidangnya, yakni Prof. Dr. Suminto A Sayuti, Prof. Aquarini Priyatna, M.A., M.Hum., dan Prof. Dr. Wiyatmi, M.Hum. Acara seminar nasional ini diselenggarakan secara daring dan diikuti oleh 300 peserta dari berbagai kampus di Indonesia.
Prof. Aquarini menyatakan bahwa ketika sastrawan perempuan menulis, sejatinya para perempuan tengah berusaha mengartikulasikan dan mendokumentasikan keberagaman kehidupan perempuan, juga persamaan dan pengalamannya yang situated dan located. Menulis adalah sebuah kegiatan menyuarakan yang “bisu” dan dibisukan. Menyambut Prof. Aquarini, Prof Wiyatmi menyatakan bahwa gaung feminisme awal 2000an di kalangan akademik dan sastrawan di Indonesia, telah memunculkan nama-nama perempuan nusantara dan sastrawan Indonesia yang sebelumnya dilupakan.
Setelah ketiga para narasumber menyampaikan makalahnya, kegiatan dilanjutkan dengan sesi diskusi dan sidang pleno yang menampilkan 15 pemakalah pendamping dari berbagai universitas. Kegiatan seminar ditutup pukul 13.00 WIB. “Kegiatan seminar yang menjadi acara rutin Prodi Sastra Indonesia ini sangat positif. Meski pandemi masih berlangsung, para akademisi dan pegiat sastra masih bisa berkreasi dalam penelitian maupun menciptakan karya. Selain sebagai srawung ilmiah, acara ini berpotensi memunculkan pemikiran-pemikiran dari para akademisi Indonesia,” jelas Dekan FBS UNY, Dr. Sri Harti Widyastuti. (else)