PENGUATAN TOLERANSI SEBAGAI BASIS KEBHINEKAAN DI TENGAH MARAKNYA AKSI INTOLERAN

PENGUATAN TOLERANSI SEBAGAI BASIS KEBHINEKAAN DI TENGAH MARAKNYA AKSI INTOLERAN

Himpunan Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (Hima PKnH) mengadakan Seminar Kebangsaan pada hari Rabu (6/11/2019) dengan mengusung tema “Penguatan Toleransi Sebagai Basis Kebhinekaan di Tengah Maraknya   Aksi Intoleran”. Ketua Panitia seminar, Daffa Fakri Maulana, menjelaskan bahwa Seminar yang dilaksanakan di Ruang Video Conference Digital Library UNY tersebut dihadiri 250 peserta yang terdiri dari Mahasiswa PKnH, Dosen, Guru, Mahasiswa Pascasarjana, dan umum. Adapun narasumber seminar antara lain Dr. Donny Gahral Adian, M.Hum. (Dosen Filsafat Universitas Indonesia), Dr. Samsul Ma’arif (Dosen CRCS UGM), Jay Akhmad (Koordinator SekNas Jaringan Gusdurian) dan Halili, M.A (Dosen PKnH UNY, Direktur Riset Setara Institute) dengan moderator Annisa Istiqomah, S.Pd., M.Pd. (Dosen PKnH FIS UNY).

Dalam kesempatan tersebut, Donny Gahral Adian memaparkan tentang Etos Persatuan dalam Keragaman. Menurutnya, wujud persatuan dalam keberagaman bukanlah kenyataan yang baru di republik ini. Dalam catatan Clifford Geertz (1963), kenyataan itu dinamainya dengan sebuah alegori ibarat anggur tua dalam botol baru, yang kemudian diterjemahkan Yudi Latif (2014) sebagai gugusan masyarakat lama dalam negara baru.

Lebih lanjut Donny Gahral Adian memaparkan, formalisasi sikap dan etos persatuan dalam kehidupan yang majemuk  dipancangkan dalam sebuah forum besar bernama Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II,  28 Oktober 1928, yang berhasil merumuskan apa yang kini kita kenal sebagai  Sumpah Pemuda.  Formalisasi itikad persatuan dalam keberagaman itulah yang menjadi perhatian utama Soekarno, yang ia tegaskan dalam pidatonya di hadapan para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945, yang kelak kita kenal sebagai pidato kelahiran Pancasila.

Pada kesempatan yang sama, Halili menjelaskan bahwa Pancasila merupakan basis tak tergantikan untuk menghadapi tantangan kebangsaan. Salah satu tantangan kebangsaan kita hari ini adalah penebalan identitas keagamaan yang disertai dengan pengerasan resistensi atas identitas keagamaan liyan (the other). Situasi tersebut harus direspons dengan kerangka filosofis-konseptual yang tepat sekaligus kontekstual dan solutif.

Berkaitan dengan masalah kebangsaan tentang keberagaman, Jay Akhmad menawarkan beberapa solusi diantaranya memperkuat basis pemahaman dan praktik keberagaman dalam masyarakat, memasifkan kampanye keberagaman “Mainstreaming Toleransi” dan mendorong kebijakan pemerintah yang lebih inklusif. Ditambahkan oleh Halili bahwa imunitas sosial dan ketahanan sekolah/PT/Masyarakat merupakan dua agenda utama yang mesti dibangun sebagai fundamen bagi pluralisme kewargaan. Masyarakat warga yang memiliki imunitas sosial dari infiltrasi ideologi ekstrimisme dengan kekerasan akan lebih suportif terhadap agenda bersama bangsa Indonesia untuk membangun masyarakat politik yang majemuk, demi memperkuat kebinekaan dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila.

Sementara itu, Samsul Ma’arif dalam seminar tersebut memaparkan tentang intoleransi di Kampus. Ia menjelaskan bahwa kampus sebagai ruang inklusif. Adapun trilogi ranah inklusi meliputi Kebijakan (Regulasi, Kurikulum dan Pengajaran), Pelayanan (perizinan, fasilitasi/diskusi) dan Penerimaan (Asosiasi, kolaborasi, interaksi). (Eko)