Pembangunan yang membawa modernisasi dan industrialisasi, menimbulkan pertumbuhan sosial, ekonomi dan budaya yang teramat cepat, namun dengan akselerasi yang berbeda-beda, yang seringkali tidak menjamin keadilan dan pemerataan di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Dalam kaitan itu, situasi keterbukaan yang semakin luas, memberikan peluang untuk suatu dialog budaya secara luas, yang kondusif bagi pengembangan model pendidikan berwawasan kebudayaan. Dengan harapan, dapat memperkuat posisi bargaining kelompok masyarakat yang lemah dalam ketidak-seimbangan itu. Untuk mengantisipasi tantangan serba baru itu, maka sistem pendidikan nasionalpun sebagai bagian pembangunan di bidang kebudayaan yang juga terus berkembang perlu dikaji kembali dan diuji ulang, diinterpretasikan secara baru, diisi roh baru, sejalan dengan arah dan dinamika pendidikan serta perkembangan masyarakat, yang dalarn era revolusi industri 4.0 dimana individu mempunyai kekebasan menemukan medianya yang borderless. Demikian disampaikan Sultan Hamengkubuwono X yang dibacakan GKR Mangkubumi dalam upacara Dies Natalis ke-59 UNY di Auditorium, Senin (22/5). Lebih lanjut diungkapkan bahwa menyikapi perubahan ini diperlukan rekayasa sosial-budaya dalam jangka panjang, secara berencana dan hati-hati. “Dalam hal ini perguruan tinggi adalah taman-persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangsa. Usaha pembentuk kebudayaan bangsa itu mengutamakan Azas Tri-Kon, yakni Kontinuitas, Konvergensi, dan Konsentrisitas” katanya. Melalui GKR Mangkubumi, Sultan Hamengkubuwono X mencontohkan negara Jepang karena sama-sama dari negeri Timur yang masih kuat akar budayanya. Kemajuan yang diharapkan oleh pemimpin Meiji adalah kemajuan seperti Negara Barat tetapi dengan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya Jepang. Budaya Jepang dan pengetahuan Barat (wakon-yasai) adalah slogan yang diserukan oleh pemimpin Jepang. Misi mengambil pengetahuan dan teknologi Barat dan menangkal pengaruh nilai dan budaya yang mungkin terbawa oleh IpTek itu diletakan tugasnya kepada para lulusan Perguruan Tinggi.
Kebudayaan sering diperlakukan sebagai objek studi pendidikan. Namun demikian, sama benarnya bahwa kebudayaan pun diperlakukan sebagai pendekatan, perspektif dan bahkan metode dalam studi-studi pendidikan. Pertanyaan yang sangat menarik adalah apakah metode kebudayaan ini menunjukkan beberapa sifat khas yang dapat diidentifikasikan? Dilihat dari latar belakang sejarah perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia cukup jelas bahwa metode kebudayaan sangat sering digunakan, dan dalam banyak kasus memperlihatkan kecenderungan pada watak yang dapat disebut konservatif, karena membela, membenarkan dan malah mengukuhkan suatu status quo. Narnun demikian, menarik untuk dicatat bahwa ada beberapa yang menunjukkan hal yang sebaliknya. Kebudayaan dapat menjadi metode yang digunakan untuk mempertanyakan suatu kemapanan. Dan dari situ mendapat wataknya yang kritis, sekaligus dapat menjadi cara untuk menjadi pendorong ke arah perubahan, dan dari situlah mendapat wataknya yang progresif.
Menurut Sultan Hamengkubuwono X paparan ini bersifat menggugah dan hanya sampai pada identiftkasi permasalahan, serta belum pada bagaimana menunjukan alternatif yang memuaskan. Tindak lanjut di lapangan pendidikan adalah menjadi tanggungjawab dan kewajiban para pakar bidang pendidikan. Yang jelas, bahwa rujukan tentang itu selain dapat kita kunyah dari budaya luar, masih banyak tersembunyi butir-butir mutiara budaya bangsa yang berharga, yang patut kita gali, kita lestarikan, kita kembangkan, dan jikalau mungkin, kita tafsirkan secara baru dengan mengisi roh baru yang bermutu, yang disesuaikan dengan tantangan masa depan.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI Nadiem Anwar Makariem, MBA dalam sambutannya secara daring memaparkan, kehadiran kampus merdeka selama tiga tahun terakhir telah membawa perubahan signifikan pada cara-cara siswa kita belajar dan mencari pengalaman. Sekarang proses belajar tidak lagi dibatasi tembok ruang kelas dan tidak lagi hanya teori tapi memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa untuk belajar di luar kampus dan memilih aktivitas yang sesuai minatnya masing-masing. Meski awalnya banyak yang keberatan dengan kampus merdeka sekarang hasil dan dampaknya sudah terlihat. Lebih dari 470.000 mahasiswa yang terlibat dalam program kampus merdeka mengatakan bahwa program belajar di luar kampus sangat membantu mereka dalam memasuki jenjang karir. Tema yang diusung dies natalis UNY kali ini sangat selaras dengan kemerdekaan mahasiswa yang dihadirkan melalui kampus merdeka. Keleluasaan dan kemerdekaan adalah syarat utama dari pendidikan yang unggul, kreatif dan inovatif. “Dengan komitmen yang ditunjukkan UNY dalam mengimplementasikan kampus merdeka, semua mahasiswa UNY telah mendapatkan haknya untuk belajar dengan merdeka” tutur Mendikbudristek.
Rektor UNY Prof. Sumaryanto mengatakan, pada tahun 2023 ini Dies Natalis ke-59 mengambil tema ‘Bersinergi mewujudkan UNY PTNBH yang Unggul, Kreatif, dan Inovatif Berkelanjutan’. Tema ini dipilih sebagai salah satu komitmen UNY yang telah berubah status dari Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTNBLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) yang senantiasa memegang teguh upaya pembangunan sumber daya manusia yang unggul, kreatif, dan inovatif berkelanjutan melalui penyelenggaraan tridarma yang berkualitas. “Dengan penyelenggaraan tridarma bagi seluruh lapisan masyarakat, diharapkan UNY dapat mengambil peran yang signifikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia” ungkap Rektor. Upaya tersebut diwujudkan melalui peningkatan layanan pendidikan, baik secara internal kepada mahasiswa serta seluruh sivitas akademika UNY maupun eksternal, yakni kepada masyarakat dan mitra UNY.
Pada kesempatan ini diberikan penghargaan pada dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa berprestasi. Dies natalis kali ini terdapat sebuah keistimewaan dimana seluruh undangan yaitu dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa memakai busana Gagrag Mataraman yang merupakan busana tradisional gaya Yogyakarta.
Penulis: Dedy
Editor: Sudaryono