“Pendidikan mengentaskan seseorang dari jerat kemiskinan struktural. Darsono membuka kesempatan orang tak berpunya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi murah tetapi bukan murahan”
Sedari mengenakan seragam merah putih dengan dasi Tut Wuri Handayani, Darsono (1955-2022) kerap digelayuti kecamuk pikiran mengapa ada orang terlahir miskin. Ia memendam “dendam” terhadap keadaan itu. Sebuah keadaan yang melilit kehidupan keluarganya lantaran tak mampu membayar ongkos sekolah. Belakangan Darsono baru menyadari. Betapa dendamnya itu menggambarkan wajah ketimpangan sosial di Indonesia. Pemeo orang kaya makin kaya dan orang miskin makin miskin terpampang jelas di depan mata. Setidaknya sepasang mata Darsono menyorot lewat refleksi kehidupannya sendiri.
Kesadaran akan pemerolehan pendidikan Darsono akui belum mengakar di tubuh kebudayaan keluarganya. Orang tuanya berprofesi sebagai buruh tani. Di benak mereka, alih-alih membiayai sekolah, ongkos hasil keringatnya lebih baik dibelanjakan untuk membiayai makan sehari-hari. Pemikiran sekolah tak begitu penting bercokol kuat di benak orang tua Darsono. Akibatnya, ia sering cekcok tetapi belakangan memaklumi bahwa keadaan itu bukan sepenuhnya kekeliruan orang tua. Kekeliruan paling mendasar, menurut Darsono, mencakup belum tersemainya kesadaran pendidikan untuk mobilitas vertikal.
Ijazah SMP di era 70-an belum mengalami defisit. Pada akhir 60-an Darsono telah menyelesaikan sekolah Sekolah Rakyat Banguntapan (1969). Selanjutnya memungkasi jenjang berikutnya di SMP Negeri 9 Yogyakarta (1972). Sebuah capaian membanggakan meski harus melewati laku prihatin. Waktu itu ijazah SMP sudah memadai untuk mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Kendati berpangkat golongan rendah, orang tua Darsono menilai tak perlu lagi anaknya melanjutkan jenjang lebih tinggi. Toh, pangkat tersebut sudah mendatangkan kehidupan layak dan memperoleh sanjungan dari warga dusun setempat. Darsono tetap keras kepala. Ia ingin lanjut studi. Meski mendapatkan pertentangan dari orang tua, Darsono teguh pendirian. Darsono menganggap sekolah bukan mendatangkan kesengsaraan ekonomi. Justru sebaliknya. Sekolah merupakan jalur menyambut berkah ekonomi, sosial, dan kultural. Pilihannya itu sampai pada keputusan untuk minggat. Jarak tempat tinggal baru dan rumah orang tua Darsono hanya selisih beberapa blok. Pasalnya, ia menempati rumah kosong milik tetangganya yang ikut program transmigrasi di era Presiden Soeharto. Setelah berkirim surat, meminta izin tetangga untuk pindah sementara, Darsono mengantongi izin tinggal. Walau tak seatap, hubungan Darsono dan orang tua berikut sejumlah saudaranya tetap harmonis.
Psikologi perkembangan Darsono sedepa lebih maju ketimbang anak sepantarannya. Ia mesti tanggap kahanan. Sebagai anak berlatar belakang kurang mampu, berpangku tangan bukan kosa kata kesehariannya. Darsono punya ikhtiar untuk belajar ekstra. Memungkasi jenjang bangku sekolah ia harapkan akan mengangkat derajat ekonomi orang tua. Darsono muda harus membanting tulang menjadi buruh harian produksi batu bata di Dusun Nglaren, Banguntapan, Bantul. Batu bata besutannya berasal dari penggarapan tanah gembur di depan rumah tetangga yang rumahnya Darsono tinggali. Hasilnya lumayan. Bisa Darsono pakai untuk membiayai sekolah sampai perguruan tinggi. Ia tekuni pekerjaan kasar itu seraya terus meneruskan pendidikan di SMA Bopkri 2 (1975) dan IKIP Negeri Yogyakarta (1982). Di kampus Karangmalang yang kini bernama Universitas Negeri Yogyakarta itu, Darsono berhasil menggondol gelar doktorandus di bidang Ekonomi Koperasi. Darsono mengakui perolehan nilai di bangku kuliah kurang membanggakan. Ia termasuk mahasiswa yang tak dipandang menonjol. IPK Darsono pun di bawah rerata kelas.
Prof. Dr. Sugiyono, kopromotor Darsono untuk memperoleh Anugerah Doktor Kehormatan Bidang Manajemen Perguruan Tinggi, menuturkan rekam jejak promovendus selama kuliah di IKIP. Walau kurang menonjol, IPK pas-pasan, Darsono membuktikan bahwa adanya korelasi negatif antara nilai numerik dengan kesuksesan seseorang. Kiprah Darsono membuktikan itu. Pendulum sejarah setelah Darsono menyabet gelar doktorandus berangsur mengarah pada kesuksesan. Bagaimana tidak? Sebelum Universitas Negeri Yogyakarta memberikan Darsono gelar Dr. (H.C.) pada 28 Maret 2018, sepak terjang perantauannya di jagat kependidikan begitu mentereng. Periode perantauan Darsono ke Jakarta pada era 80-an berbuah hoki. Darsono memulai kariernya sebagai seorang guru SMEA hingga pengurus yayasan yang kelak berhasil mendirikan universitas. Di tengah rekam jejaknya itu, Darsono pernah pula berbisnis barang elektronik, guru les, dan pramukantor (office boy). Sosok yang dahulu naik pitam terhadap kemiskinan struktural dan ketidakadilan pemerolehan pendidikan hanya bagi kaum bercuan kini mampu mengembangkan perguruan tinggi swasta untuk kelompok marginal.
Di balik nama harum Universitas Pamulang (UNPAM) di Tangerang Selatan tersibak nama Darsono. UNPAM berdiri pada tahun 2000. Mulanya ia dikelola oleh Yayasan Prima Jaya. Namun, manajemen pengelolaannya kurang prima sehingga pada 2004 UNPAM diakuisisi Yayasan Sasmita Jaya. Darsono adalah pimpinan yayasan ini. Dari gebrakan Darsono, UNPAM kini secara bertahap berkembang. Berdirinya UNPAM ialah jawaban atas kesempatan kuliah bagi lulusan SMA kurang mampu. Dari tak ada pungutan uang gedung, kuliah hanya seratus ribu perbulan, hingga kelas pilihan kelas sore-malam, UNPAM bangkit menjadi perguruan tinggi swasta terbaik. Bahkan kampus ini ramah bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Impian Darsono untuk membuka akses pendidikan secara inklusif, demokratis, dan beradab bagi kelompok marginal sekarang bukan angan-angan lagi.
Jejak kemanfaatan Darsono bagi dunia pendidikan melampaui gelar doktorandus. Suatu kewajaran bila UNY memberinya sematan tambatan “doktor honoris causa” Bidang Manajemen Perguruan Tinggi. Ia merupakan sosok inspiratif, seturut pandangan Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd. (Rektor UNY Periode 2017-2020), yang memajukan pendidikan guna berpihak kepada wong cilik. Sebuah kepedulian yang sebenarnya berangkat dari sublimasi atas pengalaman hidupnya semasa kecil yang terkategori kaum papa itu.
Pada hari Jumat (30/12/2022) Darsono wafat. Kabar ini membuat civitas akademika UNPAM berduka. Di halaman kampus, bendera setengah tiang dikibarkan—menandai kepergian orang paling dihormati dan dicintai itu. Demikian pula UNY. Sebagai salah satu alumnus terbaiknya, Darsono betapapun adalah bagian dari anggota keluarga besar. Kiprahnya bagi dunia pendidikan tak ternilai. Darsono meninggalkan warisan berharga berupa keuletan, kesungguhan, dan keikhlasan untuk mewujudkan harapan luhur pendidikan investasi peradaban.
Penulis : Ronny K
Editor : Dedy