Literasi baru melibatkan literasi digital, literasi informasi, multiliterasi, dan keterampilan abad 21 yang menuntut keterampilan menangkap, memproduksi dan menciptakan yang melibatkan proses digital, media informasi dan keterampilan literasi sehingga proses penilaian berbasis data. Demikian disampaikan Dr. Elizabeth Hartnell-Young dari The University of Melbourne, Australia saat menjadi pembicara tamu di Jurusan Pendidikan Teknik Elektronika dan Informatika (29/10/2019). Ia melanjutkan bahwa pemahaman literasi baru tidak bisa lepas dari literasi lama yang pada intinya tidak bisa lepas dari tiga pilar literasi, yaitu membaca, menulis, dan mengarsipkan. Jika dihubungkan dengan literasi, maka harus ada rumusan jelas dan semua ini tidak bisa lepas dari peran lembaga pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Dr. Elizabeth melanjutkan bahwa literasi baru juga ditandai dengan maraknya berbagai sosial media, laman website, blog, game, serta animasi. “Faktanya Indonesia dalah salah satu pengguna sosial media terbesar di dunia,” ungkapnya.
“Bahkan di Asia Pasifik, Indonesia menempati urutan ketiga pengguna smartphone terbesar sehingga membuat jumlah smartphone melebihi populasi di Indonesia,” lanjutnya
“Selain itu, Indonesia juga pengguna Faacebook terbanyak ke-4 di dunia serta puluhan juta pengguna instagram juga berasal dari Indonesia,” imbuhnya.
Hal ini tentu bisa menjadi potensi bila dikeloka dan dimanfaatkans ecara baik, namun juga bisa berdampak negatif bila tidak dibarengi dengan semangat literasi yang tinggi,” bebernyua.
Salah satu dampak buruknya adalah dengan mudahnya hoax atau berita palsu tersebar di masyarakat dan hal ini bisa menimbulkan keresahan. Maka dari itu kemampuan berpikir kristis sangat diperlukan untuk menganalisa informasi secara obyektif sehingga dapat memberikan penilaian yang tepat.
“Selain berpikir keritis, keterampilan lain yang dibutuhkan pada abad 21 meliputi kemampuan komunikasi, memecahkan masalah, kolaborasi, kemampuan ICT dan kreativitas,” tutup Dr. Elizabeth. (hryo)