Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi bekerja sama dengan BEM FMIPA menghelat acara diskusi bertajuk “Jurnalisme Sains” di ruang D03.1.1.06, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Senin (4/11/2019). Diskusi ini dilakukan untuk membahas analisis peran media dalam dunia sains, etika jurnalistik, hingga pemberantasan pseudosains.
Diskusi ini mengundang Jurnalis Kampus LPM Ekspresi, Rofi Ali Majid dan eks-wartawan Harian Jogja, Gilang Jiwana Adikara yang sekarang menjadi dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UNY. Jika Rofi membahas mengenai pembaca awam media di Indonesia, Gilang mendiskusikan mengenai karakteristik wartawan yang memproduksi berita pseudosains.
Rofi Ali Majid menyatakan bahwa kendati 97 persen masyarakat Indonesia sudah melek huruf, namun tingkat buta sains di Indonesia cukup tinggi. Rofi menyimpulkan hal tersebut dari hasil PISA (Programme for International Students Assessment) yang mengukur kemampuan sains, membaca, dan matematika. Indonesia berturut-turut menduduki peringkat 62 (sains), 61 (membaca), dan 63 (matematika) dari 69 negara yang diukur menggunakan PISA. Skor yang sangat rendah tersebut, menurut Rofi mengantarkan banyak masyarakat Indonesia mengalami buta sains.
“Masyarakat yang buta sains adalah lahan subur untuk menyemai benih-benih [berita] pseudosains,” ujar Rofi.
Pseudosains sendiri mengacu pada klaim atau kepercayaan yang secara salah dipresentasikan sebagai ilmiah. Pseudosains tidak menggunakan metode ilmiah, tidak bisa diandalkan dan dites, atau tidak memiliki status ilmiah.
Gilang Jiwana Adikara menyatakan bahwa fenomena wartawan malas melakukan verifikasi menjadikan berita pseudosains menyebar masif di masyarakat. “Banyak wartawan yang awam, ditambah dengan bergesernya orientasi media menetapkan kecepatan rilis berita sebagai hal penting. Dalihnya, mereka tidak memiliki waktu yang cukup melakukan verifikasi,” ujar Gilang, yang pernah menjadi wartawan Harian Jogja tersebut. (Muhammad Abdul Hadi/JK)