JUNGKIR BALIK BAHASA INDONESIA DALAM PUISI

JUNGKIR BALIK BAHASA INDONESIA DALAM PUISI

Joko Pinurbo, penyair kawakan asal Yogyakarta menyatakan bahwa puisi bukanlah hal sakral yang patut diagung-agungkan. “Jangan pernah bayangkan puisi adalah karya yang agung yang turun dari langit,” tutur lelaki yang kerap dipanggil Jokpin tersebut.

Jokpin merupakan dosen tamu pada kuliah umum yang dihelat di ruang seminar gedung PLA, Fakultas Bahasa dan Seni UNY, sebagai bagian dari rangkaian acara Bulan Bahasa Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) UNY 2019, Selasa (5/11/2019).

Agita Firda Romadhona Febrian, salah seorang panitia menyatakan bahwa latar belakang diangkatnya tema puisi pada acara tersebut karena kegelisahan mahasiswa-mahasiswa FBS yang kurang produktif menulis karya sastra "Malahan, sebagian besar mahasiswa enggan untuk berkarya, padahal kami [mahasiswa prodi sastra] yang mempelajari karya-karya sastra," ujar Agita.

Mengundang Jokpin sebagai pembicara pada kuliah umum tersebut dirasa tepat karena dia merupakan peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2005 dan 2015, yang merupakan salah satu anugerah sastra bergengsi di Indonesia.

Dalam puisi sendiri, Jokpin menyampaikan bahwa penulisan puisi merupakan keterampilan “mempermainkan” tata bahasa Indonesia.  Ia menyatakan bahwa terdapat permainan kata dalam bahasa Indonesia yang tidak ada di bahasa lain. Jokpin mencontohkan puisinya yang berjudul “Celana Ibu” dan “Tertimpa Kamus Kecil”.

Menurutnya, dalam puisi “Celana Ibu”, terdapat permainan kata “paskah” dan bisa dipelintir menjadi “pas-kah?”, menjadi kata tanya yang selaras dengan kata Paskah, hari suci bagi umat nasrani. Tentu saja hal tersebut sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa selain bahasa Indonesia. “Puisi itu juga menjadi sangat bermakna karena paskah adalah puncak perayaan iman bagi umat nasrani,” katanya.

Sedangkan dalam puisi “Tertimpa Kamus Kecil”, Jokpin menyampaikan bahwa puisi tersebut merupakan hasil risetnya akan kata-kata yang dibolak-balik dan menghasilkan rangkaian makna tertentu. Ia juga menyampaikan kalau puisi tersebut memerlukan waktu cukup lama karena ia harus membuat daftar kata-kata dari kamus. “Puisi ini bukan hasil menyepi di pantai. Dulu saya sering dapat cerita supaya pergi ke pantai agar mendapat ilham nulis puisi, tapi pulang malah masuk angin, enggak dapat ilham apapun,” kelakarnya. (Muhammad Abdul Hadi/JK)