Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah (PBD) kelas C angkatan 2022 Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya (FBSB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menggelar pentas sangar sastra Jawi Ludira “Luh Hardaning Asmara” dari Paguyuban Cundhamanik dengan dosen pembimbing Prof. Dr. Suwardi dan pimpinan produksi oleh Sabri Imam Mudin. Pentas itu berlangsung di Gedung Perfomance Hall FBSB UNY dan dibuka secara gratis belum lama ini.
Pentas sangar sastra Jawi Ludira “Luh Hardaning Asmara” sendiri memiliki makna yaitu dari kata “Luh” yang berarti air mata, kata “Hardaning Asmara” yang dapat diartikan sebagai kesedihan atas nafsu cinta. Selanjutnya, penamaan Paguyuban Cundhamanik berasal dari kata “Paguyuban” yang berarti perkumpulan yang bersifat kekeluargaan dan didirikan orang-orang yang sepaham untuk membina persatuan (kerukunan) di antara para anggotanya. Sedangkan kata “Cundhamanik” atau “Cundhamani” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti permata terbaik yang dimiliki seseorang. Pada pewayangan Cundhamanik merupakan sebuah senjata yang berbentuk panah yang dimiliki oleh Begawan Durna. Secara simbolis bermakna pemikiran yang cerdas dan tajam. Harapannya dengan menggunakan nama ini anggota Paguyuban Cundhamanik menjadi suatu hal yang dapat mewujudkan harapan atau cita-cita terbaik dari setiap anggotanya.
Muhammad Saiful Asyifa Akbar selaku penulis naskah dan sutradara Paguyuban Cundhamanik mejelaskan bahwa “Nama Ludira pada pentas sangar sastra Jawi ini dapat diartikan sebagai darah karena dalam pementasan itu banyak terjadi pembunuhan” jelasnya. Lebih lanjut perbedaan pementasan Ludira dari Paguyuban Cundhamanik dengan pementasan lainnya yaitu “Kelas kamis mengambil pagelaran ketoprak walaupun sama-sama dikembangkan tetapi masih ada pakem-pakem ketoprak di dalamnya contohnya ada tembang, menggunakan keprak, dan kostum yang digunakan yaitu ketoprak metaraman” kata Saiful.
Tujuan utama diadakannya pementasan ini adalah untuk mencari nilai dari mata kuliah sanggar sastra Jawi karena di program studi pendidikan bahasa daerah terdapat mata kuliah yang tugas Ujian Akhir Semester (UAS) pentas seni. Selain itu, tujuan lainnya adalah untuk melestarikan budaya Jawa karena Ketoprak adalah seni tradisional Jawa yang kaya akan nilai budaya dan kearifan lokal. Adanya pentas ketoprak ini diharapkan generasi muda khususnya mahasiswa dapat mengenal dan mempelajari budaya Jawa lebih dalam. Selanjutnya, pertunjukan pentas ini dapat menjadi media pendidikan yang efektif untuk menyampaikan pesan moral, nilai-nilai luhur, dan pengetahuan tentang budaya Jawa kepada masyarakat.
Pentas sanggar sastra Jawi Ludira “Luh Hardaning Asmara” dari Paguyuban Cundhamanik ini berhasil menarik antusiasme penonton yang luar biasa karena menunjukkan bahwa ada apresiasi yang tinggi terhadap seni dan budaya lokal. Mereka ingin merasakan dan mendukung bentuk ekspresi seni tradisional yang mungkin jarang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penonton pertunjukkan Ludira yaitu Indah memberikan kesannya terhadap pentas itu “Jumlah penonton yang hadir pada acara ini banyak, pentasnya bagus para penari sangat mendalami perannya” kata Saiful.
Pentas sangar sastra Jawi Ludira “Luh Hardaning Asmara” dari Paguyuban Cundhamanik ini menceritakan tentang seorang bupati yang menjadi tokoh di balik peristiwa kejahatan pembunuhan seorang dalang yang sedang menggelar pagelaran wayang di kediaman sang bupati. Bupati tersebut membunuh sang dalang karena memiliki rasa pada istri sang dalang karena istri sang dalang dikenal sebagai seorang sinden yang bersuara indah. Setelah kematian dari dalang tersebut sang bupati menikahi istri dalang tersebut yang telah menjadi janda dengan dalih ingin meningkatkan derajatnya dan anak-anaknya sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang pengayom. Namun, dalam kehidupan pernikahannya terdapat intrik di mana bupati tersebut menyimpan nafsu terhadap kecantikan anak sulung dari istri dalang tersebut sehingga berniat menikahi sang anak sambung dan menceraikan istrinya. Dengan bantuan tangan kanannya, sang bupati menghalalkan segala cara untuk memenuhi nafsunya. Alur cerita Ludira ini diadaptasi dari kisah yang telah diketahui oleh khalayak umum khususnya di daerah Yogyakarta yaitu kisah Ki Dalang Panjang Mas dengan beberapa gubahan serta ditambahi bumbu drama, romansa, dan komedi di dalamnya agar lebih menarik untuk dinikmati.
Secara keseluruhan, antusiasme penonton terhadap pentas Ludira dari Paguyuban Cundhamanik adalah tanda positif bahwa masyarakat masih memiliki ketertarikan yang kuat terhadap seni dan budaya tradisional, serta menghargai upaya untuk menjaga dan menghidupkan kembali warisan sastra Jawa.