Tangan Rafa Kusuma Atma Wibowo lincah memainkan wayang kulit didepannya. Layaknya dalang profesional Rafa dapat mengolah wayang dengan sempurna. Cuplikan adegan Durna Gugur dibawakan dengan baik dalam Festival Dalang Cilik UNY di Krapyak IX Margoagung Seyegan Sleman sebagai special performance. Hebatnya, Rafa adalah penyandang down sydrome.
Putra pasangan Ludy Bimasena dan Sri Wahyuni tersebut mulai menyukai wayang sejak umur 3 tahun saat orang tuanya membelikan compact disc wayang yang diambil per scene, karena anak down sydrome tidak bisa melihat video dalam waktu lama. Pilihan videonya yang atraktif seperti tancep kayon, perang kembang dan sebagainya. Diungkapkan Ludy mereka memilihkan wayang karena sebagai penyandang down sydrome Rafa tidak bisa memilih. “Sebagai kultur orang Jawa kami ingin Rafa punya kelebihan, karena penyandang down sydrome adalah peniru yang hebat” ujar Ludy, Selasa (14/5). Kebetulan juga Rafa menyukai wayang karena sering melihat video. Ludy menyatakan pemilihan budaya Jawa berupa wayang karena bisa melatih motorik kasar dan halus, sinkronisasi pendengaran dan juga olah rasa. Diungkapkannya bahwa anak down sydrome mengalami kesulitan bicara dan harapannya dengan memainkan wayang dapat stimulasi untuk terpicu berbicara, sehingga wayang dapat menjadi media terapi bagi anak down sydrome.
Siswa kelas VIII SLB Negeri Pembina Yogyakarta tersebut mampu menirukan gerakan dalang profesional sesuai aslinya. “Motorik kasarnya sangat bagus, untuk memutar gunungan sudah baik dimana tidak setiap anak bisa melakukannya” kata Ludy. Perkembangan tersebut karena musik gamelan dapat untuk olah rasa dan menghaluskan perasaan agar tidak emosional.
Rafa belajar wayang secara otodidak melalui video wayang dan disediakan orang tuanya. Sri Wahyuni mengatakan sejak kecil ada terapi untuk anak down sydrome karena memiliki keterbatasan berkomunikasi. “PR-nya banyak sekali seperti melatih bicara, melatih ototnya, sehingga sejak kecil perlu pembiasaan” kata Sri Wahyuni. Penyandang down sydrome kecerdasannya dibawah rata-rata maka anak down sydrome tidak mampu didik tapi mampu latih, sehingga dengan bermain wayang Rafa akan terus berlatih.
Warga Babadan Banguntapan Bantul tersebut pertama kali tampil mendalang saat ulang tahun SLB Negeri Pembina. Kedua kalinya pada acara Wayang Cakruk Dinas Sosial DIY. “Pada tahun ini kami diterima untuk tampil special performance dalam Festival Dalang Cilik UNY. Kami ucapkan terimakasih pada panitia yang telah memberi kesempatan Rafa untuk tampil” ujar Ludy. Keinginannya bahwa anak difabel juga dapat diakomodasi untuk tampil karena mereka punya kemampuan untuk itu. Ludy berharap wayang kulit dapat sebagai media terapi sepanjang hayat bagi penderita down sydrome, termasuk bagi akademisi agar bisa meneliti hal ini lebih lanjut. “Seni budaya adalah hak setiap orang, walaupun punya keterbatasan down sydrome juga punya hak untuk berkesenian dan berkebudayaan” ujarnya.
Menurut Ketua Pelaksana FDC UNY Dr. Agus Murdiyastomo apabila ada anak yang berbakat dan layak tampil namun menyandang disabilitas akan berusaha untuk dilayani dalam rangka pengembangan ketrampilan mereka. “Pengembangan ketrampilan motorik dan perkembangan mentalnya itu penting bagi mereka” kata Agus.